Nama : Irmawati Latif
Kelas : VI D
NIM : 10533567409
SILABUS PEMBELAJARAN
Sekolah : SMP UNISMUH MAKASSAR
Mata pelajaran :
Bahasa Indonesias
Kelas/Semester :
IX (Sembilan)/1 (satu)
Standar Kompetensi :
Menulis
8.
Mengungkapkan kembali pikiran, perasaan dan pengalaman dalam cerita pendek
Kompotensi Dasar
|
Materi Pembelajaran
|
Kegiatan pembelajaran
|
Indikator Pencapaian Kompetensi
|
Penilayan
|
Alokasi Waktu
|
Sumber Belajar
|
||
Teknik Penilayan
|
Bentuk Instrumen
|
Contoh Instrumen
|
||||||
A8.1
Menulis kembali dengan kalimat sendiri cerita pendek yang pernah dibaca
|
Penulisan
cerpen
|
·
Membca cerita
pendek
·
Bertanya jawab
untuk menentukkan ide-ide pokok cerpen sesuai dengan alur cerpen
·
Mengembangkan
ide-ide pokok dengan kalimat sendiri menjadi cerpen kembali
·
Menyunting
cerpen yang sudah ditulis
|
o
Mampu
menentukan ide-ide pokok sesuai tahap-tahap alur dalam cerpen
o
Mampu
mengembangkan ide-ide pokok menjadi cepen.
|
Penugasan
individual/kelompok
|
Pekerjaan
Rumah (PR)
|
§ Tulislah ide-ide pokok cerpen yang sudah kamu baca
sesuai dengan alurnya
§ Kembangkanlah ide-ide pokok itu menjadi cerpen lagi
dengan kalimatmu sendiri.
§ Suntinglah cerpenmu itu
|
4
X 40
|
Media
cetak buku tes
|
v Karakter
siswa yang diharapkan : dapat dipercaya (trustworthnes)
Rasa hormat dan perhatian (respect)
Tekun (diligence)
Tanggung jawab (responsibility)
|
Kompotensi Dasar
|
Materi pembelajaran
|
Kegiatan pembelajaran
|
Indicator pencapayan kompetensi
|
Penilayan
|
Alokasi waktu
|
Sumber belajar
|
||
Teknik penilaian
|
Bentuk instrumen
|
Contoh instrument
|
||||||
8. 2. Menulis cerita
pendek bertolak dari cerita yang dialami
|
Penulisan cerpen
|
o
Mendata
peristiwa yang mengesankan yang pernah dialami
o
Memilih
peristiwa yang paling mengesankan
o
Menentukan
konflik cerita
o
Merangkai
peristiwa menjadi alur/kerangka cerita
o
Mengembangkan
alur/kerangka cerita menjadi cerpen
o
Menyunting
cerpen karya sendiri dan teman
|
§ Mampu mendata peristiwa-peristiwa yang pernah
dialami
§ Mampu menentukan konflik yang ada dalam peristiwa
yang dipilih
§ Menentukan alur cerita
§ Mampu menulis cerita pendek bertolak dari peristiwa
yang pernah dialami
|
Tes praktik/kinerja
|
Uji petik kerja
|
·
Tulislah cerpen
berdasarkan peristiwa yang pernah kamu alami dengan langkah : datalah
peristiwa yang berkonflik, tentukan alur cerita, kembangkan menjadi sebuah
cerpen dan suntinglah sebuah cerpen itu.
|
6 X 40’
|
Pengalaman pribadi
Buku teks
|
v Karakter siswa yang diharapkan : dapat dipercaya (Trustworthines)
Rasa hormat dan perhatian ((respect)
Tekun (diligence)
Tanggung jawab (responsibility)
Berani (courage)
|
A.
Penertian
Cerpen
Sebenarnya,
tidak ada rumusan yang baku mengenai apa itu cerpen. Kalangan sasterawan
memiliki rumusan yang tidak sama. H.B. Jassin –Sang Paus Sastra
Indonesia- mengatakan bahwa yang disebut cerita pendek harus memiliki bagian
perkenalan, pertikaian, dan penyelesaian. A. Bakar Hamid dalam tulisan
“Pengertian Cerpen” berpendapat bahwa yang disebut cerita pendek itu harus
dilihat dari kuantitas, yaitu banyaknya perkataan yang dipakai: antara
500-20.000 kata, adanya satu plot, adanya satu watak, dan adanya satu kesan.
Sedangkan Aoh. KH, mendefinisikan bahwa cerpen adalah salah satu ragam
fiksi atau cerita rekaan yang sering disebut kisahan prosa
pendek. Dan masih banyak sastrawan yang merumuskan definisi cerpen.
Rumusan-rumusan tersebut tidak sama persis, juga tidak saling bertentangan satu
sama lain. Hampir semuanya menyepakati pada satu kesimpulan bahwa cerita pendek
atau yang biasa disingkat cerpen adalah cerita rekaan yang pendek.
Dari
beberapa buku dan uraian yang layak dijadikan pedoman, tampaknya pendapat pakar
cerita pendek dunia, Edgar Allan Poe, sangat cocok menjadi panduan-
karena secara teoritis ia memenuhi kriteria ilmiah, tetapi secara praktis ia
dapat diaplikasikan. Pendapat yang dirinci Muhammad Diponegoro dalam
bukunya Yuk, Nulis Cerpen Yuk disederhanakan sebagai berikut:
Pertama,
cerita pendek harus pendek. Seberapa pendeknya? Sebatas rampung baca sekali
duduk menunggu bus atau kereta api, atau sambil antre karcis bioskop. Disamping
itu ia juga harus memberi kesan secara terus-menerus hingga kalimat terakhir,
berarti cerita pendek harus ketat, tidak mengobral detail, dialog hanya
diperlukan untuk menampakkan watak, atau menjalankan cerita atau menampilkan
problem.
Kedua,
cerita pendek mengalir dalam arus untuk menciptakan efek tunggal dan unik.
Menurut Poe ketunggalan pikiran dan aksi bisa dikembangkan lewat satu
garis dari awal sampai akhir. Di dalam cerita pendek tak dimungkinkan terjadi
aneka peristiwa digresi.
Ketiga,
cerita pendek harus ketat dan padat. Setiap detil harus mengarus pada pada satu
efek saja yang berakhir pada kesan tunggal. Oleh sebab itu ekonomisasi kata dan
kalimat – sebagai salah satu ketrampilan yang dituntut bagi seorang cerpenis.
Keempat,
cerita pendek harus mampu meyakinkan pembacanya bahwa ceritanya benar-benar
terjadi, bukan suatu bikinan, rekaan. Itulah sebabnya dibutuhkan suatu
ketrampilan khusus, adanya konsistensi dari sikap dan gerak tokoh, bahwa mereka
benar-benar hidup, sebagaimana manusia yang hidup.
Kelima,
cerita pendek harus menimbulkan kesan yang selesai, tidak lagi mengusik dan
menggoda, karena ceritanya seperti masih berlanjut. Kesan selesai itu
benar-benar meyakinkan pembaca, bahwa cerita itu telah tamat, sampai titik
akhirnya, tidak ada jalan lain lagi, cerita benar-benar rampung berhenti di
situ.
Rumusan
Poe inilah –saya sepakat dengan Korrie Layun Rampan- sesungguhnya
yang cukup bisa mewakili pengertian cerita pendek secara umum.
B.
Ciri-Ciri
Cerpen
Di atas penulis kemukakan bahwa masih banyak orang belum
mengetahui ciri-ciri sebuah cerita pendek. Mengenai hal tersebut, di bawah ini
penulis kemukakan ciri-ciri cerita pendek menurut pendapat Sumarjo dan Saini
(1997 : 36) sebagai berikut.
Ceritanya pendek ;
- Bersifat rekaan (fiction) ;
- Bersifat naratif ; dan
- Memiliki kesan tunggal.
Pendapat lain mengenai ciri-ciri
cerita pendek di kemukakan pula oleh Lubis dalam Tarigan (1985 : 177) sebagai
berikut.
- Cerita Pendek harus mengandung interprestasi pengarang
tentang konsepsinya mengenai kehidupan, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
- Dalam sebuah cerita pendek sebuah insiden yang terutama
menguasai jalan cerita.
- Cerita pendek harus mempunyai seorang yang menjadi
pelaku atau tokoh utama.
- Cerita pendek harus satu efek atau kesan yang menarik.
Menurut Morris dalam Tarigan (1985 :
177), ciri-ciri cerita pendek adalah sebagai berikut.
- Ciri-ciri utama cerita pendek adalah singkat, padu, dan
intensif (brevity, unity, and intensity).
- Unsur-unsur cerita pendek adalah adegan, toko, dan
gerak (scena, character, and action).
- Bahasa cerita pendek harus tajam, sugestif, dan menarik
perhatian (incicive, suggestive, and alert)
C. Karakteristik
Cerpen
Gambaran umum karakteristik cerpen bisa ditangkap dalam rumusan Edgar Alan
Poe, di atas. Untuk mempertegas perbedaan cerpen dengan novel, Ismail
Marahimin, dalam Menulis Secara Populer menjelaskan bahwa cerpen
memang harus pendek dan singkat. Sedangkan cerita rekaan yang panjang adalah
novel. Apa ukuran panjang-pendek suatu cerpen itu? Jumlah halamannyakah? Jumlah
kata-katanyakah? Menjawab hal ini, rumusan Poe cukup menjelaskan.
Meskipun ada yang berpendapat jumlah katanya tidak lebih dari 10.000 kata (The
Liang Gie). Ada yang membatasi jumlah katanya antara 500 – 30.000 kata (Helvy
Tiana Rosa).
Yang jelas, karakteristik utama cerpen adalah pendek dan singkat. Di dalam
cerita yang singkat itu, tentu saja tokoh-tokoh yang memegang peranan tidak
banyak jumlahnya, bisa jadi hanya seorang, atau bisa juga sampai sekitar empat
orang paling banyak. Itu pun tidak seluruh kepribadian tokoh, atau tokoh-tokoh
itu diungkapkan di dalam cerita. Fokus atau, pusat perhatian, di dalam cerita
itu pun hanya satu. Konfliknya pun hanya satu, dan ketika cerita itu dimulai,
konflik itu sudah hadir di situ. Tinggal bagaimana menyelesaikan saja.
Karena pendeknya, kita biasanya tidaklah menemukan adanya perkembangan di dalam
cerita. Tidak ada cabang-cabang cerita. Tidak ada kelebatan-kelebatan pemikiran
tokoh-tokohnya yang melebar ke pelbagai hal dan masalah. Peristiwanya singkat
saja. Kepribadian tokoh, atau tokoh-tokoh, pun tidak berkembang, dan kita tidak
menyaksikan adanya perubahan nasib tokoh, atau tokoh-tokoh ini ketika cerita
berakhir. Dan ketika konfik yang satu itu terselesaikan, kita tidak pula tahu
bagaimana kelanjutan kehidupan tokoh, atau tokoh-tokoh, cerita itu.
Dan karena jumlah tokoh terbatas, peristiwanya singkat, waktu berlangsungnya
tidak begitu lama, kata-kata yang dipakai harus hemat, tepat dan padat, maka
–diatara karakteristik cerpen- tempat kejadiannya pun juga terbatas, berkisar
1-3 tempat saja.
Perlu ditegaskan bahwa cerpen bukan penggalan sebuah novel. BUKAN PULA
sebuah novel yang dipersingkat. Cerpen itu adalah sebuah cerita rekaan yang
lengkap: tidak ada, tidak perlu, dan harus tidak ada tambahan lain. Cerpen
adalah sebuah genre atau jenis, yang berbeda dengan novel.
Namun demikian, sebuah cerpen meskipun singkat tetap harus mempunyai tikaian
dramatik, atau dalam bahasa The Liang Gie konflik dramatik,
yaitu perbenturan kekuatan yang berlawanan. Baik benturan itu terlihat nyata
ataupun tersamarkan. Sebab inilah inti suatu cerpen.
D. Unsur-Unsur Dalam Sebuah Cerpen
1.
Tema
Yaitu
gagasan inti. Dalam sebuah cerpen, tema bisa disamakan dengan pondasi sebuah
bangunan. Tidaklah mungkin mendirikan sebuah bangunan tanpa pondasi. Dengan
kata lain tema adalah sebuah ide pokok, pikiran utama sebuah cerpen; pesan atau
amanat. Dasar tolak untuk membentuk rangkaian cerita; dasar tolak untuk
bercerita.
Tidak
mungkin sebuah cerita tidak mempunyai ide pokok. Yaitu sesuatu yang hendak disampaikan
pengarang kepada para pembacanya. Sesuatu itu biasanya adalah masalah
kehidupan, komentar pengarang mengenai kehidupan atau pandangan hidup si
pengarang dalam menempuh kehidupan luas ini. Pengarang tidak dituntut
menjelaskan temanya secara gamblang dan final, tetapi ia bisa saja hanya
menyampaikan sebuah masalah kehidupan dan akhirnya terserah pembaca untuk
menyikapi dan menyelesaikannya.
Secara
tradisional, tema itu bisa dijelaskan dengan kalimat sederhana, seperti: 1.
Kejahatan pada akhirnya akan dikalahkan oleh kebaikan. 2. Persahabatan sejati
adalah setia dalam suka dan duka. 3. Cinta adalah energi kehidupan, karena itu
cinta dapat mengatasi segala kesulitan. Dan lain sebagainya.
Cerpen
yang baik dan besar biasanya menyajikan berbagai persoalan yang kompleks.
Namun, selalu punya pusat tema, yaitu pokok masalah yang mendominasi masalah
lainnya dalam cerita itu. Misalnya cerpen “Salju Kapas Putih” karya Satyagraha
Hoerip. Cerpen ini melukiskan pengalaman “aku” di negeri asing dengan baik
sekali, tetapi secara tajam cerpen ini menyorot masalah moral. Tokoh “aku”
dapat bertahan dari godaan berbuat serong karena pertimbangan moral.
2.
Alur atau Plot
Yaitu
rangkaian peristiwa yang menggerakkan cerita untuk mencapai efek
tertentu. Banyak anggapan keliru mengenai plot. Sementara orang
menganggap plot adalah jalan cerita. Dalam pengertian umum, plot adalah suatu
permufakatan atau rancangan rahasia guna mencapai tujuan tertentu.
Rancangan tentang tujuan itu bukanlah plot, akan tetapi semua aktivitas untuk
mencapai yang diinginkan itulah plot.
Atau,
secara lebih gamblang plot adalah –menurut Aswendo Atmowiloto-
sebab-akibat yang membuat cerita berjalan dengan irama atau gaya dalam
menghadirkan ide dasar.
Semua
peristiwa yang terjadi di dalam cerita pendek harus berdasarkan hukum
sebab-akibat, sehingga plot jelas tidak mengacu pada jalan cerita, tetapi
menghubungkan semua peristiwa. Sehingga Jakob Sumardjo dalam Seluk-beluk
Cerita Pendek menjelaskan tentang plot dengan mengatakan, “Contoh
populer menerangkan arti plot adalah begini: Raja mati. Itu disebut jalan
cerita. Tetapi raja mati karena sakit hati, adalah plot.”
Dalam cerpen biasanya
digunakan plot ketat artinya bila salah satu kejadian ditiadakan jalan cerita
menjadi terganggu dan bisa jadi, tak bisa dipahami. Adapun jenis plot bisa
disederhanakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Plot
keras, jika akhir cerita meledak keras di luar dugaan pembaca. Contohnya:
cerpen-cerpen Anton Chekov, pengarang Rusia legendaris, cerpen-cerpen Trisnoyuwono
yang terkumpul dalam Laki-laki dan Mesiu, cerpen-cerpen Subagio
Sastrowardoyo dalam kumpulannya Kejantanan di Sumbing.
2. Plot
lembut, jika akhir cerita berupa bisikan, tidak mengejutkan pembaca, namun
tetap disampaikan dengan mengesan sehingga seperti terus tergiang di telinga
pembaca. Contoh, cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya Umar
Kayam, cerpen-cerpen Danarto dalam Godlob, dan hampir semua
cerpen Guy de Maupassant, pengarang Perancis menggunakan plot berbisik.
3. Plot
lembut-meledak, atau plot meledak-lembut adalah campuran plot keras dan
lembut. Contoh: cerpen Krawang-Bekasi milik Gerson Poyk, cerpen Bulan
Mati karya R. Siyaranamual, dan cerpen Putu Wijaya berjudul Topeng
bisa dimasukkan di sini.
Adapun jika kita melihat
sifatnya, maka ada cerpen dengan plot terbuka, plot tertutup dan cempuran
keduanya. Jadi sifat plot ada kalanya:
1. Terbuka.
Jika akhir cerita merangsang pembaca untuk mengembangkan jalan cerita, di
samping masalah dasar persoalan.
2. Tertutup.
Akhir cerita tidak merangsang pembaca untuk meneruskan jalan cerita. Contoh Godlobnya
Danarto.
3.
Penokohan
Yaitu
penciptaan citra tokoh dalam cerita. Tokoh harus tampak hidup dan
nyata hingga pembaca merasakan kehadirannya. Dalam cerpen modern, berhasil
tidaknya sebuah cerpen ditentukan oleh berhasil tidaknya menciptakan citra,
watak dan karakter tokoh tersebut. Penokohan, yang didalamnya ada perwatakkan
sangat penting bagi sebuah cerita, bisa dikatakan ia sebagai mata air kekuatan
sebuah cerita pendek.
Pada dasarnya sifat tokoh ada dua macam; sifat lahir (rupa, bentuk) dan
sifat batin (watak, karakter). Dan sifat tokoh ini bisa diungkapkan
dengan berbagai cara, diantaranya melalui:
1. Tindakan,
ucapan dan pikirannya
2. Tempat
tokoh tersebut berada
3. Benda-benda
di sekitar tokoh
4. Kesan
tokoh lain terhadap dirinya
5. Deskripsi
langsung secara naratif oleh
pengarang
4.
Latar atau Setting
yaitu
segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana dalam suatu cerita.
Pada dasarnya, latar mutlak dibutuhkan untuk menggarap tema dan plot cerita,
karena latar harus bersatu dengan teman dan plot untuk menghasilkan cerita
pendek yang gempal, padat, dan berkualitas. Kalau latar bisa dipindahkan ke
mana saja, berarti latar tidak integral dengan tema dan plot. Cerpen saya, Bayi-bayi
Tertawa yang mengambil setting khas Palestina, dengan watak, budaya, emosi,
kondisi geografi yang sangat khas Palestina tentu akan menjadi lucu jika
settingnya dipindah di Ponorogo. Jelas bahwa setting akan sangat menentukan
watak dan karakter tokoh.
5.
Sudut Pandangan Tokoh
Diantara
elemen yang tidak bisa ditinggalkan dalam membangun cerita pendek adlaah sudah
pandangan tokoh yang dibangun sang pengarang. Sudut pandangan tokoh ini merupakan
visi pengarang yang dijelmakan ke dalam pandangan tokoh-tokoh bercerita. Jadi
sudut pangan ini sangat erat dengan teknik bercerita.
Sudut
pandangan ini ada beberapa jenis, tetapi yang umum adalah:
1. Sudut
pandangan orang pertama. Lazim disebut point of view orang pertama.
Pengarang menggunakan sudut pandang “aku” atau “saya”. Di sini yang harus
diperhatikan adalah pengarang harus netral dengan “aku” dan “saya”nya.
2. Sudut
pandang orang ketiga, biasanya pengarang menggunakan tokoh “ia”, atau
“dia”. Atau bisa juga dengan menyebut nama tokohnya; “Aisha”, “Fahri”, dan
“Nurul” misalnya.
3. Sudut
pandang campuran, di mana pengarang membaurkan antara pendapat pengarang
dan tokoh-tokohnya. Seluruh kejadian dan aktivitas tokoh diberi komentar dan
tafsiran, sehingga pembaca mendapat gambaran mengenai tokoh dan kejadian yang
diceritakan. Dalam “Sekelumit Nyanyian Sunda” Nasjah Djamin sangat baik
menggunakan teknik ini.
4. Sudut
pandangan yang berkuasa. Merupakan teknik yang menggunakan kekuasaan si
pengarang untuk menceritakan sesuatu sebagai pencipta. Sudut pandangan yang
berkuasa ini membuat cerita sangat informatif. Sudut pandanga ini lebih cocok
untuk cerita-cerita bertendens. Para pujangga Balai Pustaka banyak yang
menggunakan teknik ini. Jika tidak hati-hati dan piawai sudut pandangan
berkuasa akan menjadikan cerpen terasa menggurui.
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?
"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?
"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."
"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."
Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun! "
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang
.
"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog. "
"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog. "
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.
Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.
Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini. "
Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.
"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."
"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara
muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."
Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.
Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak!
Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"
"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.
"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."
"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."
"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."
"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."
Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"
Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"
"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"
"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara
muda itu tertawa.
"Aku
tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"
Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."
"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"
"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.
Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."
Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."
Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.
"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."
Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.
"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pengacara
tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan
berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya
yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?"
Soal
:
1.
Sebutkan
ide-ide pokok yang tedapat dalam cerpen di atas sesuai dengan tahap-tahap alurnya!
2.
Tentukan
konflik apa yang terdapat dalam cerpen
di atas!
3.
Tentukan
alur cerita apa yang terdapat dalam cerpen di atas dan berikan alasannya!
4.
Buatlah
sebuah cerpen sesuai dengan pengalaman anda masing-masing dan tentukan ide-ide pokoknya!
5.
Tentukan
ide-ide pokok sesuai dengan tahap-tahap alurnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar